JIHAD YANG SEBENARNYA
Amrozi,Imam
Samudera dan Ali Ghufron telah dieksekusi dini hari dan kematian mereka
disambut dengan hangat di daerah masing-masing sebagai suhada yang
syahid dalam menegakkan agama Allah. Para pelayat tidak membawakan
karangan bunga akan tetapi meriakkan kalimah “Allahu Akbar” dan sejumlah
spanduk yang bertuliskan “Selamat Datang Syuhada….”. Memasuki kota
bogor juga ada tulisan sejenis dalam sebuah spanduk yang membenarkan apa
yang telah dilakukan oleh mereka serta mengutuk tindakan para politikus
dan koruptor sebagai tindakan yang merugikan rakyat.
Sebagian
menganggap bahwa tindakan yang dilakukan oleh Amrozi CS merupakan sikap
kesatria seorang Muslim yang harus dicontoh oleh pemuda-pemuda Islam
dalam menegakkan Agama ini. Mereka memandang islam tidak boleh tunduk di
hadapan kaum kafir. Sebagaimana yang dikatakan oleh Max Weber, Islam
adalah agama ksatria. Maka menjadi orang Islam harus ksatria, pantang
diinjak. Islam diturunkan oleh Allah untuk dimenangkan di atas semua
agama dan aliran. Sementara kini Islam dipaksa untuk takluk di bawah
ajaran non-Islam, yang diberi nama demokrasi. Maka demokrasi harus
ditumbangkan, dan penganjur demokrasi paling utama, yakni Amerika pun
harus dirontokkan. Meninggal dalam upaya merontokkan berhala demokrasi
ini dianggap sebagai syahid.
Tetapi
penilaian yang berbeda dikemukakan oleh ketua komisi fatwa MUI, Ma’ruf
Amin. Dia mengatakan bahwa Amrozi cs tidak syahid, karena perjuangan
Amrozi bukan jihad. “Jihad itu di wilayah konflik, sementara Indonesia bukan wilayah konflik” katanya.
Lalu Apa Sebenarnya Jihad?
Secara
bahasa, kata jihad terambil dari kata “jahd” yang berarti
“letih/sukar”, karena jihad memang sulit dan menyebabkan keletihan. Ada
juga yang berpendapat kata jihad berasal dari kata “juhd” yang berarti
“kemampuan”, karena jihad menuntut kemampuan dan harus dilakukan sebesar
kemampuan (Shihab, 1996: 501). Dalam hukum Islam, jihad adalah segala
bentuk maksimal untuk penerapan ajaran Islam dan pemberantasan
kezaliman, baik terhadap diri sendiri maupun masyarakat dengan tujuan
mencapai rida Allah Swt.
Dalam
pengertian luas, jihad mencakup seluruh ibadah yang bersifat lahir dan
batin dan cara mencapai tujuan yang tidak kenal putus asa, menyerah,
kelesuan, dan pamrih, baik melalui perjuangan fisik, emosi, harta benda,
tenaga, maupun ilmu pengetahuan sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi
Muhammad Saw. selama peroide Mekah dan Madinah. Selain jihad dalam
pengertian umum, ada pengertian khusus mengenai jihad, yaitu memerangi
kaum kafir untuk menegakkan Islam dan makna inilah yang sering dipakai
oleh sebagian umat Islam dalam memahami jihad.
Kesalahan
memahami jihad yang hanya dimaknai semata-mata perjuangan fisik
disebabkan oleh tiga hal. Pertama, pengertian jihad secara khusus banyak
dibahas dalam kitab-kitab fikih klasik senantiasa dikaitkan dengan
peperangan, pertempuran, dan ekspedisi militer. Hal ini membuat kesan,
ketika kaum Muslim membaca kitab fikih klasik, jihad hanya semata-mata
bermakna perang atau perjuangan fisik, tidak lebih dari itu. Kedua, kata
jihad dalam Al-Quran muncul pada saat-saat perjuangan fisik/perang
selama periode Madinah, di tengah berkecamuknya peperangan kaum Muslim
membela keberlangsungan hidupnya dari serangan kaum Quraisy dan
sekutu-sekutunya. Hal ini menorehkan pemahaman bahwa jihad sangat
terkait dengan perang. Ketiga, terjemahan yang kurang tepat terhadap
kata anfus dalam surat Al-Anfal ayat 72 yang berbunyi: “Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan
jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman
dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama
lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi
belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi
mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta
pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib
memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian
antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan,” (QS Al-Anfal [7]: 72).
Kata
anfus yang diterjemahkan dengan “jiwa”, menurut Quraish Shihab tidak
tepat dalam konteks jihad. Makna yang tepat dari kata anfus dalam
konteks jihad adalah totalitas manusia, sehingga kata nafs (kata tunggal
dari anfus) mencakup nyawa, emosi, pengetahuan, tenaga, dan pikiran.
Kesalahan yang sama juga dialami oleh para pengamat Barat yang sering mengidentikkan jihad dengan holy war
atau perang suci. Jihad yang didefinisikan sebagai perang melawan orang
kafir tidak berarti sebagai perang yang dilancarkan semata-mata karena
motif agama. Secara historis, jihad lebih sering dilakukan atas dasar
politik, seperti perluasan wilayah Islam atau pembelaan diri kaum Muslim
terhadap serangan dari luar. Oleh sebab itu, holy war adalah terjemahan
keliru dari jihad. Holy war dalam tradisi Kristen bertujuan
mengkristenkan orang yang belum memeluk agama Kristen, sedangkan dalam
Islam jihad tidak pernah bertujuan mengislamkan orang non-Islam.
Munawar Chalil dalam buku Kelengapan Tarikh Nabi Muhammad Saw. mengutip pendapat Muhammad Abduh, Ibnul-Qayyim dalam Zaad Al-Ma?ad, dan Syeikh Thanthawi Jauhari, menyatakan bahwa orang-orang kurang mengerti, menyangka bahwa jihad itu tidak lain adalah berperang dengan kafir. Sebenarnya tidak begitu. Jihad itu mengandung arti, maksud, dan tujuan yang luas. Memajukan pertanian, ekonomi, membangun negara, serta meningkatkan budi pekerti umat termasuk jihad yang tidak kalah pentingnya ketimbang berperang.
Jihad Akbar
Munawar Chalil dalam buku Kelengapan Tarikh Nabi Muhammad Saw. mengutip pendapat Muhammad Abduh, Ibnul-Qayyim dalam Zaad Al-Ma?ad, dan Syeikh Thanthawi Jauhari, menyatakan bahwa orang-orang kurang mengerti, menyangka bahwa jihad itu tidak lain adalah berperang dengan kafir. Sebenarnya tidak begitu. Jihad itu mengandung arti, maksud, dan tujuan yang luas. Memajukan pertanian, ekonomi, membangun negara, serta meningkatkan budi pekerti umat termasuk jihad yang tidak kalah pentingnya ketimbang berperang.
Jihad Akbar
Perang
Badar, perang besar pertama antara kaum Muslimin yang hanya berjumlah
313 orang, harus bertarung melawan musyrikin Quraisy yang berjumlah 950
orang, yang berakhir dengan kemenangan gemilang kaum Muslimin, perang
yang begitu besar oleh Rasulullah saw. dianggap tidak ada apa-apanya
dibandingkan dengan perang lain. Yaitu perang melawan hawa nafsu. Ucapan
beliau, seusai perang Badar, Roja’na minal jihadil asghar, ilal jihadil akbar. Jihadun nafsu. Kita keluar dari jihad kecil, menuju ke jihad besar. Yaitu jihad melawan hawa nafsu...
Berdasarkan
hadist di atas jihad yang dinginkan oleh Rasulullah sebenarnya bukanlah
jihad dalam arti peperangan yang penuh dengan kekerasan akan tetapi
perang mewalan syetan dalam diri sendiri yang merupakan musuh terbesar
manusia yang jauh lebih berat. Dalam beberapa ayat disebutkan bahwa
musuh kita yang sebenarnya dan teramat nyata adalah syetan yang terus
menerus akan menggoda sepanjang hidup kita. Nabi juga pernah mengatakan
bahwa orang kuat itu bukanlah orang yang menang dalam bergulat akan
tetapi orang yang bisa menahan amarahnya ketika dia akan marah.
Mengharapkan
pahala syahid disambut oleh ribuan biadadari di surga dengan cara
peperangan membunuh orang lain bisa jadi akan mengurangi keikhlasan hati
dan justru akan mengantarkan kita ke Neraka. Terlepas benar atau salah
tindakan Amrozi akan tetapi saya lebih melihat dari sudut pandang moral,
orang-orang yang dianiaya oleh Amrozi cs bukan hanya orang yang berbeda
agama namun juga termasuk orang Islam yang mengakui Allah SWT sebagai
Tuhan dan Muhammad SAW sebagai Rasul, bukankah do’a orang-orang yang
teraniaya di makbulkan Tuhan? Bukankah membunuh orang muslim merupakan
dosa besar yang tidak terampuni?
Kita
telah menyaksikan tindakan-tindakan brutal yang kemudian sebagian orang
menyebutkannya sebagai Jihad dan belum tentu itu jihad, kalaupun benar
itu jihad namun masih dalam pada tataran jihad kecil. Marilah kita lebih
menfokuskan kepada jihad Akbar, yaitu jihad melawat hawa nafsu dan
syetan dalam diri kita yang terus menerus memperdaya agar kita melakukan
tindakan-tindakan yang benar menurut kita namun dimurkai oleh Allah. Jihad
Akbar adalah berzikir menghilangkan sifat-sifat tercela dalam diri kita
dalam Suluk/’Itikaf serta memperbanyak ‘Ubudiyah sebagai wujud rasa
penghambaan diri kita kepada Allah SWT. Disaat kita berzikir dibawah
bimbingan Mursyid yang digambarkan oleh Nabi sebagai Taman Surga
maka kekal-lah Nur Allah dalam diri kita dengan demikian tanpa sadar
kita telah berada di Surga mulai dari dunia ini sampai ke akhirat kelak.